Ketika Tentara Berani Unjuk Rasa

http://www.radartim ika.com/index. php?mod=article& cat=Opini& article=18670

Senin, 04/05/2009 | 01:40 (GMT+9)

Ketika Tentara Berani Unjuk Rasa

Oleh : Ridlwan

WAJAH Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso tampak tegang siang kemarin. Jenderal asal Solo itu dipanggil presiden ke istana untuk melaporkan kejadian unjuk rasa tentara di Sentani, Jayapura. Djoko pantas tegang. Sebab, aksi itu memang luar biasa.
Itulah kali pertama sekitar satu kompi (300 prajurit) berani membangkang, melawan, bahkan mencari-cari komandannya dengan anarkis. Dalam disiplin militer, perilaku itu melanggar tujuh butir saptamarga, lima sumpah prajurit, dan delapan wajib TNI.

Ketenangan warga di sekitar Danau Sentani nan indah jelas terganggu. Laporan adanya intimidasi terhadap jurnalis semakin membuat muka TNI di Papua coreng-moreng di mata LSM dan pers internasional yang dalam beberapa bulan ini memasang mata tajam di Papua.Tapi, prajurit-prajurit muda itu tentu punya alasan. Dipicu oleh rasa solidaritas karena jenazah teman mereka yang meninggal tak segera diberangkatkan ke tanah kelahiran, mereka mulai berontak. Apalagi, meski sudah iuran, dana uang lauk-pauk mereka tetap dipotong.

Rasa jengkel, kecewa, dan dongkol berkoalisi dan mentok di ubun-ubun. Apalagi, mereka didera tiga beban sekaligus, kondisi Papua yang rawan, kesejahteraan yang di bawah standar, dan komandan yang tidak bisa mengayomi anak buah.

Tugas di Bumi Cenderawasih memang berat. Selain faktor geografis, mereka masih harus berhadapan dengan sisa-sisa gerilyawan OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang masih aktif menebar teror. Maret lalu, prajurit Yonif 754/ENK Pratu Ahmad Saefuddin tewas ditembak sniper saat bertugas di Puncak Jaya. Beberapa ancaman bom dan teror sporadis juga masih terjadi di pedalaman Papua.
Seorang anggota polisi militer Angkatan Udara yang pernah saya temui di Lanud Manuhua, Biak, menjelaskan bahwa penduduk asli Papua belum sepenuhnya bisa bersahabat dengan tentara. ''Harus hati-hati dan pintar-pintar bergaul. Jangan sampai dianggap sebagai musuh,'' ujar perwira menengah asal Sidoarjo itu. Secara psikologis, jelas lebih berat beban serdadu di Papua.

Lalu, kesejahteraan yang di bawah standar. Itu bukan hal yang baru. Semua juga tahu, menjadi tentara sulit kaya raya. Apalagi, yang bertugas di perbatasan. Uang lauk-pauk (ULP) memang naik sedikit, menjadi Rp 30 ribu per hari. Namun, dengan harga bahan pokok di Papua, jelas uang itu kurang. Apalagi, masih harus disunat.

Total anggaran Dephan untuk 2009 adalah Rp 33,4 triliun. Itu digunakan Mabes TNI, Mabes AD, AL, AU, dan Dephan sendiri. Khusus TNI-AD mendapatkan jatah Rp 16,1 triliun. Tetapi, dana itu dialokasikan untuk 129 satuan kerja (satker) di seluruh Indonesia.
Saat ini, pangkat prajurit dua (prada) yang merupakan pangkat terendah di jajaran TNI mendapatkan gaji sekitar Rp 950 ribu. Dan, prajurit berpangkat sersan dua (serda) mendapatkan gaji sekitar Rp 1,8 juta dengan ULP yang jumlahnya sama.

***

Dengan keterbatasan yang ada, sangat besar godaan untuk mencari tambahan uang di sela waktu kerja. Mulai menjadi tukang ojek hingga tenaga pengamanan bagi tamu-tamu asing atau pengusaha yang beroperasi di Papua. Ada juga, beberapa oknum, yang sempat mengirimkan beberapa satwa unik khas Papua ke Jakarta dan kota-kota besar lain.

Di Pasar Pramuka, Jakarta Timur, harga satu ekor ular chondro python asli Sorong dengan panjang 50 sentimeter bisa sampai tiga jutaan rupiah. Belum termasuk aneka burung seperti kakaktua, nuri, atau cenderawasih yang diawetkan. Payahnya lagi, kerja sambilan itu dilakukan di jam kerja harian, yang itu berarti mencurangi gaji negara yang ditarik dari uang pajak rakyat.
Faktor berikutnya, komandan yang tidak bisa mengayomi anak buah. Bisa jadi, oknum komandan seperti itu adalah figur pemimpin yang ATS (asal atasan senang). Mereka biasanya yes man kepada pimpinan, tapi kurang memedulikan anak buah. Tipe pimpinan seperti itu pasti akan dirasani sepanjang waktu, di mana saja, kapan saja.

Padahal, loyalitas prajurit berbanding lurus dengan perhatian sang komandan. Itu yang pernah dilakukan Prabowo Subianto saat menjabat Danjen Kopassus TNI-AD beberapa saat menjelang kejatuhan Orde Baru.
Seorang perwira menengah Kopassus sempat berbincang dengan penulis sebelum prosesi pemakaman putra Pangdam Iskandar Muda dan tiga awak Fokker 27 lainnya di TMP Kalibata 7 April lalu. Perwira itu ingat benar saat menjadi anak buah Prabowo. ''Saya ikut lomba menembak antarprajurit di kesatuan. Kebetulan menang, langsung disodori uang Rp 10 juta. Eh, senior saya kalah, disel semalaman,'' katanya.

Prabowo memang berhasil membangun kebanggaan korps yang luar biasa saat itu. Dengan dukungan jaringan yang kuat, prajurit Kopassus saat itu memang tertanggung kesejahteraannya. Efeknya, gairah pengabdian dan spiritualitas berkarya sangat besar.
Lantas, bagaimana cara memunculkan antusiasme para prajurit yang mulai memadam itu? Barangkali, ini salah satu tugas presiden baru nanti. Mampukah dia meningkatkan kesejahteraan prajurit dengan trik-trik cantik.

Kita belum tahu siapa yang bakal menang. Seorang jenderal bintang dua pernah berbisik, ''Kami ini netral. Kami tak pernah yakin, para purnawirawan itu bisa menguntungkan TNI. Toh, yang sekarang saja belum bisa.''

*) Ridlwan, wartawan Jawa Pos di Jakarta. Meliput di lingkungan Dephan dan Mabes TNI

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saatnya Berubah

Kenaikan BBM, Turunnya Harga Diri

AR, LM, CT, Segera Tobat......