Menyerap Tuhan

Saya ingat, saat memilih jurusan Aqidah Filsafat di Universitas Islam Negeri (dulu Institut Agama Islam Negeri)Bandung tahun 1993 lalu. Saat itu, keinginan saya hanya satu, menjadi seorang pemikir dengan segudang teori dan metode analisis. Saya pun memasuki alam baru yang mengajarkan kita untuk kritis, radikal, dan sistematis. Retorika bahasa pun begitu kokoh, argumentasi logis menjadi andalan.

Seiring dengan waktu, saya pun berkenalan dengan Plato, Aristoteles, Socrates, Rene' Descartes, Immanuel Kant, sampai filosof revolusioner Hegel, hingga Karl Marx. Pemikiran para tokoh2 itu begitu deras menerpa langit-langit di kepala. Benteng di dada ini bergemuruh,ingin menjadi seperti mereka yang bisa mengubah dunia. Buku-buku pun dilalap habis. Diskusi menjadi ajang paling menentukan, terutama adu kepala dan logika.

Begitulah saat berkenalan dengan Muhammad Iqbal, seorang filosof, penyair, dan negarawan Paksitan, saya baru terenyuh. Ketika saya jatuh cinta padanya, runtuhlah filsafat eksistensi Friedich Nietzche. Nietzche, filosof "gila" asal Jerman yang menganggungkan eksistensialisme manusia hingga mengobarkan God is Dead, hancur luluh. Eksistensialisme Muhammad Iqbal begitu menawan, tatkala teori Absorb Tuhan menjadikan eksistensi diri. Lalu, Muhammad Iqbal pun menyublin menjadi seorang sufi yang membawa air bagi dahaganya jiwa dan logika kering tanpa jiwa.

Dari sinilah, pemikiran Iqbal mengantarkan saya bahwa tidak ada eksistensi tanpa yang Maha Eksis. Pemikiran itu merasuk pada diri saya. Teori apa pun tak ada artinya jika tidak mampu menyerap (absorb) eksistensi Tuhan. Absorb atau menyerap kekuatan Tuhan akan membuat kita selaras dengan Sang Maha Berkehendak. Semakin kita selaras dengan Tuhan, semakin kuatlah eksistensi kita.

Keselarasan ini akan memberi cahaya penerang bagi pikiran dan intuisi. Seperti halnya kondisi penyatuan wujud atau wahdatul wujud ala sufi, dipahami oleh Iqbal sebagai penyelarasan kehendak antara Kholik dan makhluk.

Ini mengingatkan kita, gelombang pemikiran sekularisme, pramatisme, positivisme, dan hedonis yang melahirkan kapitalisme dan liberalisme, jauh dari keselarasan dengan Tuhan. Golongan ini menyimpan Tuhan di laci lemari, yang bisa dibuka saat kita sendiri di dalam kamar. Kekuatan ekonomi menjadi panglima. Revolusi pola pikir ini membuat kita lebih menghargai kekayaan ketimbang kemanusiaan. Lebih lagi saat Neoliberalisme dan globalisme menghadang kita untuk menjadi mesin yang hanya diukur oleh kekuatan ekonomi semata.

Mungkin sejenak kita mulai mengenal kembali Tuhan yang Agung, dan menyerap nilai-nilainya, kemudian menyelaraskan diri sesuai dengan kehendakNya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saatnya Berubah

Kenaikan BBM, Turunnya Harga Diri

AR, LM, CT, Segera Tobat......