Curhat dari Anak Negeri yang Tanggung

Merasakan negeri ini, begitu kaya sumber alam, banyak penduduk, tanah dan airnya begitu luas. Wajar jika Belanda tak mau melepaskan Indonesia begitu saja meski memproklamirkan kemerdekaannya. 350 tahun diisap seluhur kekaayaan alamnya, tetap saja Belanda memaksa untuk kembali ke Indonesia, dengan alasan, negeri ini sangat potensial.Ya, negeri ini sangat pontensial.

Tak usahlah berbicara soal berapa banyak kandungan mineral didalam bumi Indonesia. Tak ada waktu untuk membuktikan, kita memiliki cadangan minyak mentah yang dicemburui Negara besar. Semua sudah terbukti. Semua bukan omong kosong. Walaupun dalam kenyataannya, hampir 80 persen rakyat kita masih miskin. Pendapatan perkapita pun masih dibawah Malaysia, yang notabene sedikit lebih muda merdekanya.

Dengan kekuatan geopolitik, kekayaan Negara ini, tapi Indonesia masih saja hanya menjadi sapi perahan. Sumber-sumber alam dan kekayaan kita, malah dikuasai Amerika. Rakyatnya menjadi ladang konsumerisme bagi produk China dan Eropa. Kita lebih bangga menggunakan produk luar daripada produk dalam negeri. Rakyat bodoh semakin hari semakin bebal dengan kondisi ini. Dan para pemimpinnya pun hanya ngurusi diri dan kelompoknya saja, atau sebatas korupsi. Pemilu hanya ajang pembodohan rakyat semesta, sulit untuk menjadi cerdas dan bernas. Kaum intelektual, entahlah mereka sibuk dikontrak pemilik modal dan para penguasa korup. Lalu negeri ini semakin gamang.

Kegamangan ini terus diteror dengan intervensi free trade dan pasar global, sebuah konsep penghancuran identitas bangsa. Baju ibu pertiwi semakin luntur dan terkoyak, karena tak yang berharga hanya nilai jual dan produksi. Mereka yang mengaku Indonesia berada di pinggiran dengan mengelu-elukan seni budaya. Mereka tidak pernah dianggap, kecuali hanya sebatas upacara atau kegiatan para penguasa. Setelah itu, mereka disimpan dikotak kecil yang sewaktu-waktu dibuka.

Para enterpreuner pun baru dibawah 10 persen dari total rakyat Indonesia. Selebihnya, hanya buruh upah murah. Petani gurem atau petani buruh. Tekanan untuk terus menciptakan lapangan kerja baru, membuka keran kredit bagi para UKM, berbanding terbalik dengan iklim administrasi berlapak-lapak. Begitupun bunga kredit yang tinggi, seperti permainan laying-layang, ditarik dan diulur. Entah mana yang disebut keberpihakan.

Hukum pun sulit menjadi sandaran. Uang masih berkuasa di mata hukum. Hukum masih bisa dibeli. Istilah hotel prodeo, kini bukan lagi omong kosong bagi pesakitan berduit. Keleluasaan berinvestasi dan berusaha, tersendat dengan pandangan aparat sebagai sumber pundi mereka. Apalagi raja-raja kecil bertindak sebagai preman jalanan, siap mengantar dan siap pula memungut secara illegal. Aturan tak bisa berjalan karena aparat bergaji kecil. Akhirnya aparat berubah menjadi kawanan keparat, yang menghisap uang rakyat.


Lalu, dimana negeri ini berpijak, kemana negeri ini berlabuh. Benar-benar negeri yang
tanggung untuk menjadi besar.

Abah Fariz (yang lagi butuh jalan keluar*)
Melong 140110

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saatnya Berubah

Kenaikan BBM, Turunnya Harga Diri

AR, LM, CT, Segera Tobat......