Menjadi Sunda

Isu SARA masih menjadi api dalam sekam. Dimana pun, tak terkecuali di negara Amerika dan Eropa. Secara negara mereka sudah dianggap modern dan berpikiran maju. Isu Suku, Agama, dan Ras bagi kaum pluralisme, dieliminasi sekecil-kecilnya. Malah, mereka meng-kredo-kan sebuah status kebersamaan dalam perbedaan. Tapi, tak ayal, setiap kali seorang suku Madura dipukuli Suku Dayak, akan menjadi isu regional dan bisa memicu pertempuran. Atau seorang Muslim yang ditabrak sopir angkot beragama Kristen, tiba-tiba dibawa ke ranah pembeda, keyakinan. Lalu, konflik pun bisa terjadi bukan antar personal mereka yang terlibat konflik. Tapi, mencuat persoalan ini antara si muslim dengan si kristen, bukan si fulan dan si folin.

Bagi saya, ini sebuah kodrat Tuhan, Sunatulloh menurut agama saya. Takdir yang membuat saya sebagai seorang bersuku Sunda, lahir dari ayah dan ibu, berkelamin laki-laki, memiliki karakter aksidensial yang tumbuh di kalangan masyarakat menengah bawah. Begitu juga dengan Anda, pasti memiliki perbedaan. Meski boleh jadi, ada persamaan, suku, agama, atau ras.

Lalu kenapa Tuhan menciptakan perbedaan ini, padahal ini sumber konflik sensitif. sumber malapetaka begitu luar biasa bagi kehancuran peradaban?

Saya meyakini kata-kata Imam al-Qurthubi: “Karena berbeda-bedalah maka ALLAH SWT menciptakan mereka manusia.” [Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz 9, hal 114-115, Al-ikhwan.net).

Dalam Alquran surat al-Hujurat ayat 13 disebutkan, "Hai manusia, kalian AKU ciptakan sebagai laki-laki dan perempuan dan kujadikan berbagai suku dan berbangsa-bangsa untuk saling berbudi luhur (tidak bermusuhan). Sesungguhnya yang paling mulia dan tertinggi martabatnya di sisi ku adalah orang yang berbudi luhur dan paling banyak jasanya (taqwa)."

Ini jelas, jelas sekali jika memandang SARA adalah sebuah keniscayaan. Dan Sang Maha Kreator menjadikan perbedaan ini untuk saling mengenal bukan bermusuhan, saling menguatkan dalam peradaban dan ketinggian budi sebagai manusia.

Globalisasi
Angin globalisasi berembus dari barat ke kawasan timur. Ini membuat bulatnya dunia dan miliaran perbedaan di setiap kepala manusia, sedikit demi sedikit terkikis. Semakin samar pintu dan jendela rumah kita, orang bisa masuk tanpa perlu bilang "permisi", "spada", "punteun" atau "Assalamualaikum." Tiba-tiba tusuk gigi yang saya gunakan dibuat orang China nun jauh di sana. Pertandingan Intermilan dengan Liverpool, detil disaksikan, padahal bukan kesebelasan negara kita, bukan pula pertandingan Liga Indonesia,tapi tiba-tiba disaksikan memikat.

Fenomena jejaring sosial, membuat saya bisa menyapa orang Netherland dengan orang kampung seperti saya. Bisa bercakap sangat lekat dengan orang bersuku Tan di Guangzho, China. Hingga, tak perlu lagi bersikap diri sebagai orang terasing, kita bisa berbincang-bincang dengan orang berwarna kulit berbeda, bahkan agama pun berbeda. Inikah sebuah Rahmat dari Tuhan?

Menjadi Sunda
Sepertinya belum. Globalisasi ini memang membuat perbedaan ini semakin tipis. Kecepatan network di jejaring sosial, membikin kita bisa berbaur dalam pergaulan internasional sekalipun. Namun, perkenalan dalam ruang perbedaan ini belum sepenuhnya menajadi rahmat. Karena tujuan rahmat perbedaan ini adalah menjadikan kita harus menjadi orang yang paling unggul, paling bermanfaat dan paling bertakwa di hadapan manusia dan Tuhan.

Di sinilah Tuhan mengingatkan, pembauran ini tidak menghilangkan identitas diri kita. Globalisasi bukan membuat kita menjadi berwarna barat. Pergaulan internasional itu bukan membuat kita kehilangan purwadaksi, jati diri. Karena Tuhan menyiratkan kita untuk menjadi orang dengan SARA yang berbeda-beda, tapi saling mengenal dan menghormati, lalu menjadi manusia SARA yang unggul, bermanfaat di hadapan SARA lain, dan bertakwa dihadapan Tuhan.

Lalu, saya pun kembali menjadi Sunda, Islam, laki-laki, yang berusaha mengejawantahkan sebagai makhluk yang dicintai Tuhannya.

Wallahua'lam
Abah Fariz, 250110

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saatnya Berubah

Kenaikan BBM, Turunnya Harga Diri

AR, LM, CT, Segera Tobat......