Kontemplasi


Adalah wajar jika tiba-tiba pikiran kita terhenyak oleh suatu keadaan. Terkejut oleh sebuh peristiwa yangmenimpa diri kita. Bukan peristiwa di luar, tapi kita sendiri yang mengalaminya. Ini hal biasa dalam hidup. Karena kita memang hidup untuk merasakan dinamika kehidupan. Sesekali kita mengamati peristiwa di luar, tapi kerap juga peristiwa yang kita alami sendiri.

Berbeda saat melihat dan memperhatikan sebuah peristiwa di luar diri kita. Emosi dan perasaan tidak ikut terlibat. Sedih, duka, marah, takut, haru, dan berkecamuknya rasa tidak terlalu ikut serta. Sering kali saya melihat orang sakit, korban kecelakaan yang meraung-raung kesakitan, keluarga berduka ditinggal saudaranya tewas pesawat jatuh, korban gempa bumi , atau peristiwa lainnya. Keterlibatan emosi tak mengemuka, sewajarnya. Empati ya, tapi emosi berlebihan jarang terlibat.

Tapi, sungguh berbeda jika peristiwa itu kita alami sendiri. Ada emosi dan perasaan kuat disana. Jika biasanya akal sehat bermain, kini sudah bercampur dengan perasaan. Menanggapi setiap masalah yang berkaitan dengan peristiwa ini, direspons dengan campur aduk. Malah, perangai seakan tampak wajah asli. Selebihnya, hanya insting binatang atau keluhuran budi yang terjadi.

Ya, inilah saatnya berkontemplasi. Baik di luar maupun didalam diri, tetap saja, kontemplasi menjadi katarsis untuk tetap bersahaja dalan jiwa berbudi. Normatif kedengarannya, tapi memang, kontemplasi cukup member ruang kita untuk melihat secara objektif tentang diri dan diluar diri. Kontemplasi memberi jarak agar kita tidak berdesakan dengan peristiwa yang dialami. Memberi ruang untuk bernafas dan bertanya, apa yang harus kita lakukan untuk selanjutnya.

Kontemplasi atau contemplation artinya berpikir dan merasa. Berarti, melakukan reka ulang terhadap peristiwa yang terjadi dengan kacamata pikir dan rasa, akal dan hati, nalar dan rasa. Dalam bahasa agama, kontemplasi bisa berarti muhasabah. Muhasabah sering disempit-artikan hanya menghisab amal-amal ibadah kita, padahal berarti menghitung-hitung kembali seluruh perbuatan, respon, mental, dan spontan. Mereka-ulang segala bentuk perilaku kita untuk diresapi dan dipikirkan secara jernih dengan akal dan budi.

Jika peristiwa menimpa kita, ambilah nafas sejenak agar tidak larut dalam masalah. Berilah jarak agar akal dan hati bisa melihat secara jelas. Reka ulang semua yang telah terjadi. Jujurlah pada diri sendiri sehingga kita dapat menilai dengan sebaik-baiknya. Jika marah, selayaknya kembali mengulang secara imajiner kenapa marah itu terjadi. Jika sedih menjadi-jadi, reka adegan hingga kita bisa menanyakan kenapa kita pantas untuk bersedih. Dan seluruh peristiwa yang dialami, sepatutnya diberi waktu untuk direka ulang, atau berkontemplasi.

Semoga saja..



*tulisan ini beberapa saat setelah ayahanda tercinta; H. Udan Endjah meninggal dunia pada 18 Oktober 2009

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saatnya Berubah

Kenaikan BBM, Turunnya Harga Diri

AR, LM, CT, Segera Tobat......